Globalisasi dan Gaya Hidup Konsumtif
Istilah globalisasi telah banyak digunakan dalam percakapan sehari-hari sehingga terkesan membosankan. Dari orang awam hingga para intelektual tidak jarang meng-gunakan istilah ini; sehingga maknanya kadang-kadang menjadi klise. Namun bila dipahami secara serius, globalisasi merupakan sebuah proses kebudayaan yang ditandai dengan ada-nya kecenderungan wilayah-wilayah di dunia menjadi satu dalam format budaya. Ibarat air bah, proses ini menga-lir deras melanda siapa saja dan cen-derung menciptakan situasi dilematis. Apakah mengadopsi nilai-nilai global secara penuh atau menciptakan revitali-sasi agar kelangsungan hidup sebuah kebudayaan lokal dapat terjaga. Globali-sasi merupakan gejala kontemporer se-iring dengan berlangsungnya evolusi peradaban manusia. Globalisasi saat ini memiliki intensitas, cakupan waktu, dan kecepatan yang luar biasa yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Globalisasi saat ini ditandai dengan perluasan dan integrasi pasar antar negara-negara maju, negara-negara se-dang berkembang, dan antar keduanya. Pusat kebudayaan dunia berada di negara-negara industri yang mempro-duksi baik barang-barang, jasa-jasa, mau-pun simbol-simbol modernitas yang kemudian dikomsumsi secara global oleh seluruh penduduk dunia melalui komo-ditisasi dalam kemasan-kemasan budaya. Perluasan pasar tidak akan berhasil seandainya tidak ada perubahan nilai-nilai secara global yang menjadi tiang penyangga budaya konsumen (consumer culture). Fenomena ini bertujuan agar produk-produk industri dapat dengan cepat laku dan dikomsumsi secara mas-sal, baik di negara-negara maju maupun di negara-negara sedang berkembang.
Budaya Konsumtif Umat Islam
Orang-orang yang pernah mengalami masa kecil di daerah perkampungan pasti mengenal jajanan bernama borondong. Makanan ringan itu terbuat dari biji jagung yang disangrai’ alias digoreng tanpa minyak. Bentuk, rasa, dan tampilan makanan ini nyaris tak berbeda dengan pop corn. Tapi, cobalah sebut nama borondong dan pop corn bersama-sama dan tawarkan kepada anak-anak kita untuk memilih. Dugaan Anda tak meleset: anak-anak pasti memilih pop corn. Kenapa? Jawab-nya sederhana saja, tak ada cerita sinetron televisi yang berkisah tentang anak-anak atau remaja yang makan borondong. Yang ada adalah cerita tentang remaja yang berduaan sembari tangannya memegang kardus bungkus pop corn. Begitulah, substansi dan definisi bahwa pop corn dan borondong adalah makanan yang sama-sama terbuat dari jagung yang dibikin meledak akhirnya kehilangan makna. Yang bermain kemu-dian adalah citra bahwa pop corn adalah camilan anak gaul serta imajinasi bahwa setelah makan pop corn seseorang akan menjadi selevel dengan para bintang televisi.
Perilaku semacam ini sesungguhnya bukan cuma terjadi pada kelompok konsumen anak-anak. Bagi konsumen—tak peduli apakah mereka anak-anak, remaja, dewasa, bahkan orang tua sekali-pun— keputusan untuk membeli dan tidak membeli lebih sering muncul akibat citra dan imajinasi semacam itu. Soal apa yang dibeli, apa manfaat-nya, dan seterusnya seringkali justru menjadi pertimbangan kedua. Ada joke tentang petani cengkeh yang memborong kulkas padahal kampung sang petani tadi belum dijamah aliran listrik. Ternyata dia membeli kulkas lantaran kerap menonton iklan kulkas yang ditonton di televisi milik kantor desa. Dapat diamati pada satu sisi globalisasi secara konkret telah menciptakan kelimpahan material, sedangkan pada sisi lain menciptakan penduniaan budaya konsumtif yang mengancam peradaban manusia. Budaya konsumtif dikemas dalam gaya hidup internasional dan merupakan simbol modernitas dan ins-tant.
Media massa, baik elektronik maupun cetak, merupakan sarana utama dalam penyebaran epidemi global budaya kon-sumtif internasional tersebut. Contohnya, gaya memakan fast food seperti Hambur-ger McDonald, Wendy’s, Arby’s, ayam goreng internasional seperti Kentucky, Texas, California, dan lain-lain merebak di seantero jagat termasuk Indonesia. Padahal menurut para ahli makanan yang berjenis fast food dikategorikan junk food (makanan sampah) dan beresiko me-nimbulkan penyakit kolesterol dan kanker.
Apa Yang Harus dilakukan ?
Islam tidak mengajarkan berlebih-lebihan (israf) dalam segala hal seperti; makanan, minuman, berpakaian dan lain-lain. Apalagi tengah menjalankan ibadah shaum, umat Islam harus kon-sentrasi dalam melaksanakan ibadah karena bulan shaum merupakan bulan berkah yang penuh maghfirah. Fenomena belanja yang berlebihan menjelang Idul Fitri bagi hampir sebagian besar umat Islam haruslah dikoreksi, karena sesungguhnya Idul Fitri merupa-kan hari raya umat Islam bagi mereka yang benar-benar melakukan shaum dan segala amal ibadah lainnya. Dan jika tidak melakukan apa-apa di bulan shaum maka sebenarnya tidak berhak atas Idul Fitri tersebut.Ramadlan adalah bulan yang penuh barakah dan pahala, di mana al-Qur’an diturunkan padanya. Sungguh kesempa-tan bagi umat Islam yang memanfaat-kannya. Oleh karena itu, bulan ini dinamai bulan suci. Pada bulan Rama-dlan, orang–orang tidak hanya diwajib-kan melaksanakan shaum saja, menahan lapar, dan dahaga, tetapi lebih dari itu, mereka dituntut agar mengisinya dengan berbagai aktifitas positif yang diridlai-Nya. Di antara kegiatan positif yang semestinya dilakukan oleh umat Islam ketika bulan Ramadhan, diantaranya shadaqah, ta-darus al-Qur`an, qiyamu Ramadlan, i’tikaf, umrah, dan yang lainnya.
Shaum dan Kepedulian Sosial
Islam menganjurkan umatnya untuk saling menolong di antara sesama dalam rangka menjalankan kebaikan dan meraih ketaqwaan. Bulan Ramadlan disebut juga syahrul muwasaat, artinya bulan pertolongan, karena dengan ibadah shaum diharapkan para pelakunya merasakan penderitaan orang-orang faqir dan miskin, sehingga melahirkan keinginan untuk menolong atau bershadaqah kepada mereka. Menolong atau bershodaqah pada bulan Ramadlan insya Allah akan mendapat pahala yang besar, lebih besar daripada bulan biasa.
Seorang muslim yang biasa hidup berkecukupan, segala keinginannya ter-kabul, tidak pernah memikirkan soal makanan, pakaiannya beraneka ragam, tinggal di rumah mewah yang me-nyenangkan, dan memiliki kendaraan yang siap mengantar kemana saja ia mau, pada bulan Ramadlan ia harus ikut me-rasakan penderitaan saudaranya yang miskin. Saat ia menahan lapar dan da-haga harus teringat pula kepada mereka yang kelaparan. Saat berbuka shaum dengan beraneka macam hidangan, per-nahkah ia mengingat tetangganya yang berbuka dengan makanan seadanya? Saat ia belanja pakaian, terpikirkah orang yang membutuhkan pakaian sekadar penutup auratnya? Allah menyebut orang yang tidak suka memberi makan orang miskin sebagai pendusta agama. Rasu-lullah Saw bersabda. Demi Allah yang diriku ada di Tangan-Nya, tidak dinama-kan beriman seseorang sehingga ia menyukai buat tetangganya seperti ia suka buat dirinya. (Muttafaq alayh).
Pada saat ini kesempatan untuk ber-shadaqah, menebar amal sangat terbuka, karena makin banyaknya orang yang berada di garis kemiskinan, akibat ben-cana dan sistem ekonomi yang tidak menentu. Sementara sebagian di antara kita tidak terpengaruh dengan kenaikan harga BBM dan melonjaknya harga sembako, terbukti di jalan-jalan masih macet dengan kendaraan, yang belanja pelengkap lebaran masih berjejal, demikian juga yang pergi wisata pasca lebaran. Bukan tidak boleh apa lagi di-haramkan, tetapi sudahkah kita mem-berikan hak faqir miskin dari harta kita? Tidak inginkah kita menyimpan sebagian yang dimiliki untuk kehidupan akhirat? Ingat sebenarnya kita bukan menolong mereka, sebab segala pemberian berupa shadaqah adalah masih milik kita. Kita titipkan kepada Allah melalui faqir miskin, sebab itu keimanan dan keikhla-san harus menjadi dasar amal tersebut, karena sebuah shadaqah akan batal, tidak berarti bila diikuti dengan riya dan hina-an.
Ibnu Abbas r.a menceritakan bahwa pada zaman Khalifah Abu Bakar r.a pernah terjadi masa sulit, bahan pokok susah dicari, kelaparan hampir melanda, semua orang harus ekstra hemat. Mereka mendesak khalifah agar cepat menangani dan mencari solusi. Kata khalifah, Insya Allah, sebelum esok sore hari, akan datang pertolongan Allah. Pagi-pagi keesokan harinya, datanglah kafilah Utsman r.a yang sarat dengan bahan pokok keperluan. Kedatangan kafilah disambut para pedagang yang siap membeli dengan harga tinggi, karena mereka sudah menghitung keuntungan yang didapat; berapa pun harganya bila sudah menjadi kebutuhan pasti para penduduk akan membelinya.Utsman keluar mendapatkan mereka, terjadilah adu tawar dengan mereka:
Utsman : Berapa kalian hendak memberi saya untung?
Para pedagang : Sepuluh menjadi dua belas.
Utsman : Ada yang berani menawar-kannya lebih dari itu?.
Para pedagang : Kalau begitu sepuluh menjadi limabelas,
Utsman : Ada yang lebih tinggi lagi dari itu?,
Para pedang : Siapa yang berani menawarnya lebih dari itu, padahal pedagang Madinah, berada di sini?
Utsman: Ada …, yaitu Allah! Saya diberi-Nya keuntungan sepuluh kali lipat. Nah, adakah di antara tuan-tuan yang dapat memberi keuntungan lebih dari itu…?
Mendengar jawaban itu, para pedagang pun bubar, sementara Utsman berkata, Ya Allah, sesungguhnya saya telah memberikan semuanya lepada fakir miskin warga Madinah secara cuma-cuma, tanpa memperhitungkan harganya.
Pada cerita di atas ada dua macam karakter yang berbeda antara Utsman bin Affan dan para pedagang Madinah. Para pedagang Madinah berupaya mencari kesempatan dalam kesempitan, mereka tahu bahwa penduduk Madinah sedang membutuhkan bahan pokok. Mereka tidak memikirkan kaum fuqara dan masakin yang mendapat kesulitan; tidak sekadar susah mendapatkan makanan, tetapi mereka tidak punya uang untuk mem-belinya. Para pedagang tidak pernah memperdulikannya. Sedangkan Utsman r.a menjadikan situasi seperti ini menjadi peluang untuk bershadaqah, yang ia fikirkan adalah bagaimana agar kehidu-pan di akhirat nanti tidak mengalami paceklik untuk dirinya. Hartanya tidak membebaninya saat perhitungan.
Teringat oleh Utsman firman Allah, Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia ada-lah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit. Maka menjadi subur karena-nya tumbuh-tumbuhan di muka bumi. Kemudian tumbuh-tumbu-han itu menjadi kering dan diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS Alkahfi : 45) Ia benar-benar memahami ayat ini, yaitu harta itu tidak lebih daripada jerami kering yang diterbangkan oleh angin. Kedermawannya yang luar biasa adalah kedermawanan seorang yang meman-dang harta sebagai tumpukan jerami, kecuali apabila dinafkahkannya di jalan Allah.
Ketika dilantik menjadi khalifah, dalam khutbah iftitahnya Utsman r.a mem-bacakan ayat 20 Surah Alhadid : Ketahuilah, bahwa sesungguhnya ke-hidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang malalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mangagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.
Orang yang ditaqdirkan Allah menjadi kaya bisa bershadaqah dengan hartanya, bagaimana dengan orang yang tidak punya? Apakah mereka mempunyai kesempatan untuk bershadaqah? Rasulul-lah Saw menjelaskan, : Setiap jiwa harus bershadaqah setiap hari. Abu Dzar yang terkenal miskin bertanya ke-pada beliau, Haruskah saya bershada-qah, padahal saya tidak punya harta? Jawab beliau, Sesungguhnya di antara pintu-pintu sedekah ialah mem-baca takbir, subhaanallaah, alhamdulil-laah, laa ilaaha illallaah, dan astagh-firullah. Juga bila anda menyuruh ber-buat baik dan mencegah yang jahat, menghindarkan duri, tulang dan batu dari tengah jalan, menuntun orang yang buta, mengajari yang tuli dan bisu hingga ia mengerti, menunjuki orang yang menanyakan sesuatu keperluan yang anda ketahui tempatnya, dengan kekuatan betis berjalan membantu orang yang malang meminta tolong, dan dengan kekuatan lengan mengangkat barang orang yang lemah, semua itu merupakan pintu-pintu sedekah, yakni dari dirimu untuk dirimu pribadi. (HR Ahmad).
Sabda Rasulullah Saw, Siapa yang mampu di antaramu untuk bersedekah, maka lakukanlah, walaupun dengan sebiji kurma, siapa yang tidak punya harta, maka dengan kalimah thayyibah. (HR. Muslim). (RAN)
Globalisasi saat ini ditandai dengan perluasan dan integrasi pasar antar negara-negara maju, negara-negara se-dang berkembang, dan antar keduanya. Pusat kebudayaan dunia berada di negara-negara industri yang mempro-duksi baik barang-barang, jasa-jasa, mau-pun simbol-simbol modernitas yang kemudian dikomsumsi secara global oleh seluruh penduduk dunia melalui komo-ditisasi dalam kemasan-kemasan budaya. Perluasan pasar tidak akan berhasil seandainya tidak ada perubahan nilai-nilai secara global yang menjadi tiang penyangga budaya konsumen (consumer culture). Fenomena ini bertujuan agar produk-produk industri dapat dengan cepat laku dan dikomsumsi secara mas-sal, baik di negara-negara maju maupun di negara-negara sedang berkembang.
Budaya Konsumtif Umat Islam
Orang-orang yang pernah mengalami masa kecil di daerah perkampungan pasti mengenal jajanan bernama borondong. Makanan ringan itu terbuat dari biji jagung yang disangrai’ alias digoreng tanpa minyak. Bentuk, rasa, dan tampilan makanan ini nyaris tak berbeda dengan pop corn. Tapi, cobalah sebut nama borondong dan pop corn bersama-sama dan tawarkan kepada anak-anak kita untuk memilih. Dugaan Anda tak meleset: anak-anak pasti memilih pop corn. Kenapa? Jawab-nya sederhana saja, tak ada cerita sinetron televisi yang berkisah tentang anak-anak atau remaja yang makan borondong. Yang ada adalah cerita tentang remaja yang berduaan sembari tangannya memegang kardus bungkus pop corn. Begitulah, substansi dan definisi bahwa pop corn dan borondong adalah makanan yang sama-sama terbuat dari jagung yang dibikin meledak akhirnya kehilangan makna. Yang bermain kemu-dian adalah citra bahwa pop corn adalah camilan anak gaul serta imajinasi bahwa setelah makan pop corn seseorang akan menjadi selevel dengan para bintang televisi.
Perilaku semacam ini sesungguhnya bukan cuma terjadi pada kelompok konsumen anak-anak. Bagi konsumen—tak peduli apakah mereka anak-anak, remaja, dewasa, bahkan orang tua sekali-pun— keputusan untuk membeli dan tidak membeli lebih sering muncul akibat citra dan imajinasi semacam itu. Soal apa yang dibeli, apa manfaat-nya, dan seterusnya seringkali justru menjadi pertimbangan kedua. Ada joke tentang petani cengkeh yang memborong kulkas padahal kampung sang petani tadi belum dijamah aliran listrik. Ternyata dia membeli kulkas lantaran kerap menonton iklan kulkas yang ditonton di televisi milik kantor desa. Dapat diamati pada satu sisi globalisasi secara konkret telah menciptakan kelimpahan material, sedangkan pada sisi lain menciptakan penduniaan budaya konsumtif yang mengancam peradaban manusia. Budaya konsumtif dikemas dalam gaya hidup internasional dan merupakan simbol modernitas dan ins-tant.
Media massa, baik elektronik maupun cetak, merupakan sarana utama dalam penyebaran epidemi global budaya kon-sumtif internasional tersebut. Contohnya, gaya memakan fast food seperti Hambur-ger McDonald, Wendy’s, Arby’s, ayam goreng internasional seperti Kentucky, Texas, California, dan lain-lain merebak di seantero jagat termasuk Indonesia. Padahal menurut para ahli makanan yang berjenis fast food dikategorikan junk food (makanan sampah) dan beresiko me-nimbulkan penyakit kolesterol dan kanker.
Apa Yang Harus dilakukan ?
Islam tidak mengajarkan berlebih-lebihan (israf) dalam segala hal seperti; makanan, minuman, berpakaian dan lain-lain. Apalagi tengah menjalankan ibadah shaum, umat Islam harus kon-sentrasi dalam melaksanakan ibadah karena bulan shaum merupakan bulan berkah yang penuh maghfirah. Fenomena belanja yang berlebihan menjelang Idul Fitri bagi hampir sebagian besar umat Islam haruslah dikoreksi, karena sesungguhnya Idul Fitri merupa-kan hari raya umat Islam bagi mereka yang benar-benar melakukan shaum dan segala amal ibadah lainnya. Dan jika tidak melakukan apa-apa di bulan shaum maka sebenarnya tidak berhak atas Idul Fitri tersebut.Ramadlan adalah bulan yang penuh barakah dan pahala, di mana al-Qur’an diturunkan padanya. Sungguh kesempa-tan bagi umat Islam yang memanfaat-kannya. Oleh karena itu, bulan ini dinamai bulan suci. Pada bulan Rama-dlan, orang–orang tidak hanya diwajib-kan melaksanakan shaum saja, menahan lapar, dan dahaga, tetapi lebih dari itu, mereka dituntut agar mengisinya dengan berbagai aktifitas positif yang diridlai-Nya. Di antara kegiatan positif yang semestinya dilakukan oleh umat Islam ketika bulan Ramadhan, diantaranya shadaqah, ta-darus al-Qur`an, qiyamu Ramadlan, i’tikaf, umrah, dan yang lainnya.
Shaum dan Kepedulian Sosial
Islam menganjurkan umatnya untuk saling menolong di antara sesama dalam rangka menjalankan kebaikan dan meraih ketaqwaan. Bulan Ramadlan disebut juga syahrul muwasaat, artinya bulan pertolongan, karena dengan ibadah shaum diharapkan para pelakunya merasakan penderitaan orang-orang faqir dan miskin, sehingga melahirkan keinginan untuk menolong atau bershadaqah kepada mereka. Menolong atau bershodaqah pada bulan Ramadlan insya Allah akan mendapat pahala yang besar, lebih besar daripada bulan biasa.
Seorang muslim yang biasa hidup berkecukupan, segala keinginannya ter-kabul, tidak pernah memikirkan soal makanan, pakaiannya beraneka ragam, tinggal di rumah mewah yang me-nyenangkan, dan memiliki kendaraan yang siap mengantar kemana saja ia mau, pada bulan Ramadlan ia harus ikut me-rasakan penderitaan saudaranya yang miskin. Saat ia menahan lapar dan da-haga harus teringat pula kepada mereka yang kelaparan. Saat berbuka shaum dengan beraneka macam hidangan, per-nahkah ia mengingat tetangganya yang berbuka dengan makanan seadanya? Saat ia belanja pakaian, terpikirkah orang yang membutuhkan pakaian sekadar penutup auratnya? Allah menyebut orang yang tidak suka memberi makan orang miskin sebagai pendusta agama. Rasu-lullah Saw bersabda. Demi Allah yang diriku ada di Tangan-Nya, tidak dinama-kan beriman seseorang sehingga ia menyukai buat tetangganya seperti ia suka buat dirinya. (Muttafaq alayh).
Pada saat ini kesempatan untuk ber-shadaqah, menebar amal sangat terbuka, karena makin banyaknya orang yang berada di garis kemiskinan, akibat ben-cana dan sistem ekonomi yang tidak menentu. Sementara sebagian di antara kita tidak terpengaruh dengan kenaikan harga BBM dan melonjaknya harga sembako, terbukti di jalan-jalan masih macet dengan kendaraan, yang belanja pelengkap lebaran masih berjejal, demikian juga yang pergi wisata pasca lebaran. Bukan tidak boleh apa lagi di-haramkan, tetapi sudahkah kita mem-berikan hak faqir miskin dari harta kita? Tidak inginkah kita menyimpan sebagian yang dimiliki untuk kehidupan akhirat? Ingat sebenarnya kita bukan menolong mereka, sebab segala pemberian berupa shadaqah adalah masih milik kita. Kita titipkan kepada Allah melalui faqir miskin, sebab itu keimanan dan keikhla-san harus menjadi dasar amal tersebut, karena sebuah shadaqah akan batal, tidak berarti bila diikuti dengan riya dan hina-an.
Ibnu Abbas r.a menceritakan bahwa pada zaman Khalifah Abu Bakar r.a pernah terjadi masa sulit, bahan pokok susah dicari, kelaparan hampir melanda, semua orang harus ekstra hemat. Mereka mendesak khalifah agar cepat menangani dan mencari solusi. Kata khalifah, Insya Allah, sebelum esok sore hari, akan datang pertolongan Allah. Pagi-pagi keesokan harinya, datanglah kafilah Utsman r.a yang sarat dengan bahan pokok keperluan. Kedatangan kafilah disambut para pedagang yang siap membeli dengan harga tinggi, karena mereka sudah menghitung keuntungan yang didapat; berapa pun harganya bila sudah menjadi kebutuhan pasti para penduduk akan membelinya.Utsman keluar mendapatkan mereka, terjadilah adu tawar dengan mereka:
Utsman : Berapa kalian hendak memberi saya untung?
Para pedagang : Sepuluh menjadi dua belas.
Utsman : Ada yang berani menawar-kannya lebih dari itu?.
Para pedagang : Kalau begitu sepuluh menjadi limabelas,
Utsman : Ada yang lebih tinggi lagi dari itu?,
Para pedang : Siapa yang berani menawarnya lebih dari itu, padahal pedagang Madinah, berada di sini?
Utsman: Ada …, yaitu Allah! Saya diberi-Nya keuntungan sepuluh kali lipat. Nah, adakah di antara tuan-tuan yang dapat memberi keuntungan lebih dari itu…?
Mendengar jawaban itu, para pedagang pun bubar, sementara Utsman berkata, Ya Allah, sesungguhnya saya telah memberikan semuanya lepada fakir miskin warga Madinah secara cuma-cuma, tanpa memperhitungkan harganya.
Pada cerita di atas ada dua macam karakter yang berbeda antara Utsman bin Affan dan para pedagang Madinah. Para pedagang Madinah berupaya mencari kesempatan dalam kesempitan, mereka tahu bahwa penduduk Madinah sedang membutuhkan bahan pokok. Mereka tidak memikirkan kaum fuqara dan masakin yang mendapat kesulitan; tidak sekadar susah mendapatkan makanan, tetapi mereka tidak punya uang untuk mem-belinya. Para pedagang tidak pernah memperdulikannya. Sedangkan Utsman r.a menjadikan situasi seperti ini menjadi peluang untuk bershadaqah, yang ia fikirkan adalah bagaimana agar kehidu-pan di akhirat nanti tidak mengalami paceklik untuk dirinya. Hartanya tidak membebaninya saat perhitungan.
Teringat oleh Utsman firman Allah, Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia ada-lah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit. Maka menjadi subur karena-nya tumbuh-tumbuhan di muka bumi. Kemudian tumbuh-tumbu-han itu menjadi kering dan diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS Alkahfi : 45) Ia benar-benar memahami ayat ini, yaitu harta itu tidak lebih daripada jerami kering yang diterbangkan oleh angin. Kedermawannya yang luar biasa adalah kedermawanan seorang yang meman-dang harta sebagai tumpukan jerami, kecuali apabila dinafkahkannya di jalan Allah.
Ketika dilantik menjadi khalifah, dalam khutbah iftitahnya Utsman r.a mem-bacakan ayat 20 Surah Alhadid : Ketahuilah, bahwa sesungguhnya ke-hidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang malalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mangagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.
Orang yang ditaqdirkan Allah menjadi kaya bisa bershadaqah dengan hartanya, bagaimana dengan orang yang tidak punya? Apakah mereka mempunyai kesempatan untuk bershadaqah? Rasulul-lah Saw menjelaskan, : Setiap jiwa harus bershadaqah setiap hari. Abu Dzar yang terkenal miskin bertanya ke-pada beliau, Haruskah saya bershada-qah, padahal saya tidak punya harta? Jawab beliau, Sesungguhnya di antara pintu-pintu sedekah ialah mem-baca takbir, subhaanallaah, alhamdulil-laah, laa ilaaha illallaah, dan astagh-firullah. Juga bila anda menyuruh ber-buat baik dan mencegah yang jahat, menghindarkan duri, tulang dan batu dari tengah jalan, menuntun orang yang buta, mengajari yang tuli dan bisu hingga ia mengerti, menunjuki orang yang menanyakan sesuatu keperluan yang anda ketahui tempatnya, dengan kekuatan betis berjalan membantu orang yang malang meminta tolong, dan dengan kekuatan lengan mengangkat barang orang yang lemah, semua itu merupakan pintu-pintu sedekah, yakni dari dirimu untuk dirimu pribadi. (HR Ahmad).
Sabda Rasulullah Saw, Siapa yang mampu di antaramu untuk bersedekah, maka lakukanlah, walaupun dengan sebiji kurma, siapa yang tidak punya harta, maka dengan kalimah thayyibah. (HR. Muslim). (RAN)
Ihsan Setiadi Latief, M.Si
0 Comments:
Post a Comment
<< Home